Selasa, 23 Juni 2009

Sukses, Tujuan Hidup Manusia . “ Katakanlah hai hamba – hamba-Ku yang beriman bertaqwalah kepada tuhanmu. “ Orang – orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang – orang yang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tampa batas. ” ( Qs Az Zumar ( rombongn – rombongan ) ayat 10.


Siapapun orangnya mulai dari pemimpin sampai rakyat biasa tak ada yang menginginkan kegagalan, semuanya pasti ingin sukses, kesuksesan itu saling bergandengan dengan kebahagiaan. Sebaliknya kegagalan sangat dekat dengan kesedihan dan kekecewaan. Dari dua opsi diatas muncullah bermacam ragam konsep sukses. Tak sedikit dari manusia yang sering mendekatkan sukses itu dengan kekayaan yang melimpah, jabatan yang sedang diduduki, ketenaran yang selalu dipertahankan dsb. Orang dikatakan suskses manakala hidupnya berlimpah harta, menjadi orang ternama sekaligus menduduki jabatan tinggi.



Apkah hanya ini arti sukses ?. Ternyata tidak terlalu dapat dibenarkan. Apalagi kesuksesan dalam konteks ini disandingkan dengan kebahagiaan. Ternyata tak selalu orang kaya dan terkenal dan didulung oleh jabatan tinggi yang hidupnya bahagia.


Menjadikan kekayaan , popularitas dan kedudukan sebagai indikasi kesuksesan tidak selamanya salah. Tapi kalau hanya terpokus pada ketiga komponen diatas tidaklah mencukupi. Arti sukses tidaklah bias didevenisikan hanya berpedoman pada ketiga hal yang disebutkan diatas. Justru orang sering terjerembab dan terjebak dalam kebingungan dan kegelisahan kalau hanya mengangap ketiga hal itu sebagai satu-satunya indicator kesuksesan dan keberhasilan.


Kekayaan, ketenaran dan kedudukan yang empuk lagi basah adalah sesuatu yang sulit untuk di raih, tak seluruh manusia yang bias menikmatinya, karenanya setiap manusia akan selalu bersaing untuk merengkuhnya. Mereka-mereka yang menganggap kesuksesan hanya bias diraih dengan kekayaan, popularitas maupun kedudukan semata, akan selalu berusaha untuk menemukannya dengan segala cara. Halal haram tak digubrisnya, inilah penyebab utam manusia itu melakukan apasaja. Mentalnya akan egois, sombong dan tidak mau ambil pusing dengan kesengsaraan dan kesusahan yang diderita orang lain.


Karenanya, tak mengherankan kalauorang-orang yang terlalu disibukkan dalam pencarian harta semata mengabaikan akan keluarganya. Orang yang tamak lagi rakus didalam meraih suatu jabatan, menjadi tega menyikut teman sendiri, orang yang ingin tenar akan rela menyerahkan segala kehormatan dan jati dirinya. Padahal hanya kehormatan dan jati dirilah yang paling bermakna dalam kehidupan seseorang. Namun hal ini sering kali ditundukkan oleh nafsu angkara murka duniawi semata.


Orang yang memiliki anggapan hanya jabatan, ketenaran maupun kekayaan sebagai puncak dan lambing kesuksesan akan sulit menikmati hidupnya. Sebab ia hanya menganggap ketiganya adalah puncak kesuksesan. Kalau ketiga-tiganya sudah diraih tak ada lagi yang ingin direngkuhnya. Maka, tak mengherankan kalau kebanyakan manusia yang sudah memiliki hal ini terjerembab dalam kancah kebingungan. Harus berbuat apa lagi karena kesuksesan menurutnya sudah dicapai. Akhirnya untuk menikmati kesuksesan itu tak sedikit yang pergi kekafe-kafe, club-club malam sambil menghabiskan waktunya dengan minum-minuman keras dan wanita penghibur (pelacur).


Perspektif Islam


Islam tidak melarang manusia khususnya manusia Islam untuk meraih kekayaan, ketenaran maupun jabatan, Namun, menjadikan ketiga hal diatas sebagai satu-satunga indicator kesuksesan, jelas sangat keliru. Namun Islam selalu mengajarkan untuk menjadikan ketiga komponen diatas sebagai prasarana dan kendaraan menuju pada jalur kesuksesan itu. Sehingga kesuksesan, ketenaran maupun jabatan yang sudah diraih tersebut tidak kosong dari unsure religius, yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.


Inilah keadaan yang diinginkan Islam dari pemeluknya, yang digambarkan dalam satu cita-cita yang selalu dilantunkan dalam doa. ” Yaa Tuhan kami, berilah kami kebaikan hidup diduni dan kebaikan hidup diakhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka. ” ( Qs Al Baqarah – 201).


Dalam lantunan doa diatas terbersit satu permohonan , ” Berilah kami kebaikan” Sejak dulu kebaikan yang kita harapkan harus diawali dengana kebaikan yang di start dari dalam diri sendiri. Suatu yang mustahil apabila diri menginginkan reward dan nilai tambah berupa kebaikan dari Allah dan manusia, sementara prilaku buruk, zalim bahkan keji masih juga mengandeng tangan kemana kita melangkah. Bersegeralah untuk menghilangkan penyakit-penyakit rohani dan prilaku tidak terpuji, selama diri dalam proses pencarian kebahagiaan dan kesuksesan.


Secara universal diantara karakter dasar manusia adalah, selalu berkeinginan kuat untuk mengaktualisasikan dirinya. Didalam usaha ini Islam sebagai agama rahmatan lil alamin menyuguhkan pedoman, untuk selalu melanggengkan budaya mau memberi manfaat bagi kehidupan orang lain. Pemberian itu harus bersih dan ikhlas jauh dari unsure mengharapkan dukungan, pujian, sanjungan dsb, inilah bentuk aktualisasi diri yang paling tinggi yang akan berbuah kebahagiaan dan kepuasan bathin yang tak terhingga. Dari sinilah kesuksesan itu bias dicetak.


Agar biasa memberi tentu kita harus memiliki, apa yang mau diberi kalau diri sendiri kekurangan. Nah disinilah peran penting jabatan dan kekayaan yang akan berkoalisi menemukan muaranya. Namun jika jauh dari keikhlasan dalam hal memberi maka pemberian tersebut tidak akan memberikan kepuasan apalagi kebahagiaan. Dalam situasi seperti ini kesuksesan itu belum direngkuh meskipun seseorang itu memiliki harta yang banyak maupun kedudukan yang tinggi selama diri tidak ikhlas dalam memberi.


Sejarah Islam memberikan gambaran nyata pada kita, bagaimana kesuksesan yang dibarengi dengan hidup bahagia yang telah berhasil direngkuh oleh para sahabat Rasul Saw. Sebut saja Usmant Bin Affan dan Abdulrahman Bin Auf. Mereka kaya, terkenal, disegani, punya kedudukan dsb. Kuncinya mereka selalu menjalankan pesan Rasulullah Saw agar memberi dengan barang yang bermanfaat penuh keikhlasan.


Yang mampu mengantarkan seseorang kejenjang kesuksesan bukan hanya dengan harta dan pangkat semata. Ilmu dan moral mulia yang dimiliki juga mampu mengantarkan seseorang pada tangga kesuksesan dan kebahagiaan, tentu selama ilmu dan moral tersebut tetap dijalankan dalan setiap sisi kehidupan ini.


Seorang muslim sejati harus memiliki sebuah cita-cita untuk sukses, meskipun cita-cita itu tak mesti tercapai. Cita-cita bagi seorang muslim harus dijadikan kompas sekaligus menjadikanya sebagai motor pengerak didalam merengkuh kesuksesan yang dicita-citakan. Dalam konteks ini kesuksesan terletak pada proses pencapaian cita-cita dengan terus menikmati hasilnya, apapun yang terjadi dan tak mesti harus sesuai dengan yang diinginkan.


Selain itu mengelola waktu dengan seksama merupakan salah satu aspek terpenting untuk merengkuh kesuksesan dan kebahagiaan. Menyisihkan waktu untuk beribadah apabila watunya sudah masuk disela-sela kesibukan dalam bekerja sangat penting untuk diperhatikan. Tidak sedikit dari umat manusia yang mengalami kerugian dalam hal waktu ini. ” Demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran. ” ( Qs Al Asr : 1 – 3 ).


Tanamkanlah selalu semangat untuk terus mencoba, mengetahui sesuatu lebih dalam dan mendetail dan tidak suka membuang-buang waktu. Menjadiikan setiap kesalahan dan kegagalan sebagai pelajaran dan cambuk diri guna mengejar kesuksesan dunia wal akhirat. Didalam menemukan kebahagiaan sebagai puncak kesuksesan tidaklah terlalu sulit, namun tidak mungkin juga semudah membalik telapak tangan. Kuncinya adalah raih kebahagiaan dengan selalu hidup seimbang ( dunia dan akhirat) serta selalu mensyukuri nikmat Allah apa adanya, karean Allah Swt juga tidak ingin umatnya selalu hidup dalam kegelisahan dan kecemasan. Allah Hu A’llam.


Penulis : Pengamat Masalah Sosial Keagamaan

Tidak ada komentar: