Selasa, 23 Juni 2009

Tahun 1899 di Amerika, dua orang anak muda yang sehari-harinya bekerja di bengkel sepeda memulai sebuah pekerjaan dari ide yang oleh tetangga dan masyarakat disekitarnya mereka sebut fantasi “orang gila”. Betapa tidak, yang ingin mereka buat adalah sebuah alat yang mampu membawa manusia terbang di angkasa seperti burung. Tapi sebutan “orang gila” dari hampir seluruh manusia di zamannya itu tidak menyurutkan cita-cita Wright bersaudara untuk menuntaskan “fantasi”nya. Pada bulan Desember 1903, sesudah kerja keras selama empat tahun lebih sedikit, hasil usahanya berhasil dengan gemilang. Lebih satu abad kemudian, yaitu hari ini, justeru mereka yang tidak percaya pada fantasi Wright bersaudara disebut “orang gila”.

Parade Orang Gila

Sebutan orang gila juga disematkan kepada Thomas Alfa Edison ketika menyampaikan “fantasinya” tentang bola pijar, juga kepada Alexander Graham Bell ketika mengajukan “fantasinya” tentang telepon. Bahkan di jaman yang mulai modern sekalipun seorang anak muda bernama Frederick W. Smith (pendiri FedEx) juga pernah disebut “orang gila” oleh kawan-kawannya dan diberikan nilai “C” oleh Profesornya di Universitas Yale ketika menulis paper mengenai ide pengiriman barang secara ekspress. Dan masih banyak nama-nama manusia yang telah mengukir sejarah, pernah disebut “orang gila”. Namun ketika seluruh fantasi mereka itu telah terangkum dan terakumulsi menjadi sebuah peradaban, orang tak pernah lagi mengingat bahwa mereka pernah digelari “orang gila”.

Membaca tulisan Fajlurrahman Jurdi pada kolom Tribun Opini hari Sabtu, 27 Desember 2008 sungguh menggelitik saya. Ada ironi besar antara jabatannya yang mentereng sebagai Direktur Eksekutif sebuah lembaga pusat kajian politik dan sosial dengan cara pandangnya tentang teori perubahan. Jika pelaku-pelaku perubahan dalam sejarah manusia adalah mereka yang kepalanya dipenuhi obsesi dan fantasi tentang masa depan, maka sang Direktur justru mengahkimi “fantasi” seseorang atau sebuah partai mau pun suatu bangsa sebagai kahayalan-khayalan yang menjijikkan. Mudah-mudahan bukan karena karena sang Direktur jarang membaca buku-buku biografi.

Maju Karena Mimpi

Amerika maju seperti sekarang ini bukanlah karena Amerika bangsa yang sangat cerdas. Lihat saja hasil Olimpiade Sains dewasa ini, pemenangnya sebagian besar bukanlah bangsa Amerika, tetapi orang-orang Eropa timur, China, bahkan belakangan juga Indonesia. Kemajuan mereka juga bukanlah semata-mata karena kedisiplinan kerja. Bangsa-bangsa Asia seperti Jepang, Korea dan China bahkan jauh lebih disiplin. Kunci kamajuannya adalah karena Amerika merupakan “mesin mimpi” terbesar di dunia. Di Amerika setiap orang bebas memiliki mimpinya sendiri. Bahkan setiap orang di dorong dan difasilitasi mewujudkan mimpinya oleh negara. Pemerintah menyiapkan dana besar-besaran bagi orang-orang “gila” melalui venture capital (VC). Jadi jangan heran jika banyak ide “gila” yang muncul di Amerika. Bahkan terpilihnya Barrack Obama sebagai presiden Amerika Serikat saat ini juga salah satunya disebabkan oleh jualan mimpi Obama: “Hope” dan “Change”.

Oleh karena itu, serangan Fajlurrahman kepada PKS atas mimpinya tentang Indonesia lebih mirip ideologi komunis yang melarang seseorang, atau sebuah partai untuk memiliki obsesi dan cita-cita. Bahkan lebih “Soeharto” dari Soeharto itu sendiri yang telah beliau maki dalam tulisannya. Juga pilihan-pilihan kata yang digunakan dalam tulisan tersebut (entah sengaja atau tidak) seperti “menjijikkan”, “orang gila”, “kebusukan”, “tidak waras”, “keluar dari Islam”, menunjukkan “kekerasan intelektual” seorang cerdik pandai selevel beliau. Sehingga kesan yang muncul setelah membaca tulisan ini tentu saja hanya kesan amarah dan dendam, bukan kesan intelektual.

Indonesia Perlu Mimpi

Mestinya bangsa ini memberikan apresiasi terhadap gagasan-gagasan segar PKS. Di tengah kegamangan semua partai politik di negeri kita tentang Indonesia apa pasca orde reformasi, PKS menghadirkan sebuah “fantasi” yang telah dijabarkan dengan begitu lengkap dalam Platform Pembangunannya. Di saat tokoh-tokoh nasional bangsa ini saling sikut dan membual tentang janji-janji politik, justru PKS datang dengan semangat kebersamaan dan kerjasamanya. Pada saat sebagian intelektual muda mulai putus asa dengan tingginya tembok politik paternalistik yang ada, PKS datang dengan ide pemimpin mudanya. Bahkan di saat tak ada lagi ide baru tentang Indonesia, PKS hadir dengan slogan: “Bangkit Negeriku Harapan Itu Masih Ada”. Sebab Indonesia adalah bangsa yang membutuhkan sebuah mimpi.

Dan seharusnya tak perlu ada yang sakit hati dengan semua mimpi-mimpi PKS itu. Sebagaimana orang lain tak perlu sewot dengan obsesi dan mimpi kita masing-masing. Itu adalah hak PKS sebagaimana Golkar, PDIP atau PBB juga punya hak yang sama. Toh, mimpi PKS itu tidaklah menyakiti siapapun atau hendak mencederai siapapun. Apalagi jika kita sendiri bukanlah bagian dari orang yang harus berdarah-darah dan bergelimang air mata untuk membesarkan PKS, apa urusannya? Biarkanlah waktu yang akan berbicara nantinya, siapakah yang lebih pantas disebut “gila”, PKS ataukah para pengkritiknya.

Akhiri Polemik Ini

Meskipun PKS telah menjadi bahan skripsi dan desertasi doktoral banyak orang sejak berdirinya, namun itu belumlah cukup untuk menyimpulkan PKS sebagai partai hina atau mulia. Memperdebatkannya panjang lebar pun tidak akan mampu menambah kemuliaan atau kehinaan bagi PKS. Oleh karena itu jauh lebih bijaksana jika bangsa ini memberikan kesempatan kepada PKS untuk membuktikan ketulusan niatnya, kebenaran janji-janjinya, dan realisasi obsesinya. Sebagaimana bangsa ini juga telah memberikan kesempatan yang sama kepada Golkar, PDIP, PKB dan Partai Demokrat. Setelah itu, silahkan seluruh bangsa ini bebas menilai PKS.

Dan untuk sahabat Fajlurrahman, sederhanalah dalam mengkultuskan guru-guru kita. Azwar Hasan hanyalah manusia biasa yang bisa keliru seperti juga kita. Ide yang beliau tuangkan dalam Tribun Opini sebelumnya toh tak lebih hanyalah tambal sulam dari tulisan orang lain di website Tempo Interaktif tanggal 24 Nopember 2008. Mudah-mudahan ini tidak termasuk “plagiat” ide, sebuah kejahatan terbejat dalam dunia akademisi. Dan janganlah kebencian Anda terhadap suatu kaum, mendorong Anda untuk berlaku tidak adil (QS. 5:8). Jangan karena hanya sebuah iklan, sahabat Fajlurrahman tega menuding “gila”, munafik, bahkan murtad dari agama Allah, suadara-saudara seiman yang belum tentu lebih buruk dari diri Anda. Na’udzu billahi min dzalik!.

Tidak ada komentar: